Posted by : Edi Sumarno
Saturday, 4 October 2014
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia
bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti
yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara.
Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu,
atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
1. Kedukan Bukit (683 Masehi),
2. Talang Tuwo (684 Masehi),
3. Kota
Kapur (686 Masehi),
4. Karang Brahi (686 Masehi),
5. Gandasuli (832 Masehi),
6. Bogor
(942 Masehi), dan
7. Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu
Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa
Sanskerta.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di
tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka
ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi
atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang
dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan
kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai
doa untuk keselamatn raja.
Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan
prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka,
isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan
kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang
memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka
yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun
pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulka bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu
telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai
bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I
Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu
(diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan
politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat
pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul
bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan
bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen,
pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai
adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia
Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi
di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara
pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting.
Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah,
yaitu:
Semenanjung Melayu dan Singapura besera
pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar:
pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan
Sunda kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian
Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu
ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelumm
Traktat London, dan (2) periode setelah Traktat London.
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat
London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat
London ini dapat disistematisasikan ke dalam beberapa era, sub-era, dan periode
seperti berikut.
1. Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai
dengan abad ke-11 Masehi)
2. Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai
dengan abad ke-19 Masehi)
3. Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik
(abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
4. Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14
sampai dengan abad ke-19 Masehi):
5. Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14
sampai dengan abad ke-15 Masehi)
6. Periode Kerajaan Johor (abad ke-16
sampai dengan abad ke-17 Masehi)
7. Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18
sampai dengan abad-19 Masehi)
8. Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disistematisasikan
tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat
London 1824, karena bahasa Melayu berkembang menjadi tiga arah, yaitu:
a. di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
b. di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
c. si Brunei menjadi Bahasa Melayu
Baku;dan
d. di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai
dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya
mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada
Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya.
Para saudagar dari timur dan barat serta dari
Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa
Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu.
Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya.
(Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya
merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan
daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan,
kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh
Gregoris F. Zaide, se
orang ahli sejarah Filipina terkemuka,
mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:
The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya)
emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th
ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in
might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so
named after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra.
At the height of its power under the Shailendra dynasty, it included Malaya, Ceylon,
Borneo, Celebes, the Philippines,
and part of Formosa, and
probaly exercised sovereignty over Cambodia
and Champa (Annam).
(Zaide, 1950: 36)
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan
suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru
kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari
kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan
tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua
franca Kw’en Lun.
Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12
sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi
bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat
pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era
Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19
Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta.
Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era,
yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau.
Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode,
yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan
Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat
penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini,
penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan
orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua
franca tidak hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif
melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma
supraetnik”, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di
Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di
dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun
glosari pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521
Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu
yang berasal dari Indonesia
bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu.
Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat bahasa Melayu
sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan
bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan
begitu saja.
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten,
seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulisa di dalam bukunya Itinerarium
Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu adalah
bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang
tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari
zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam
Fishman, 1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois
Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien
II Del V tentang
bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa bahasa Melayu telah
terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang
penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda
dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di
Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan
saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India
dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh
setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa,
atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya
bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan
dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik
(abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di
Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak
Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan
Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus
dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya.
Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu
dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat
kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi.
Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan
mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah
bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa
Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis
menganggap bahwa bahasa Medlayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa
Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad
ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa
Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu
Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa
itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat
asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa
masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu
kuno dan bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14
sampai dengan abad ke-19 Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu
dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa
Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa
Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena
sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan
Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu
pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak
sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu
Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat
tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14
sampai dengan abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara
kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya
dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya.
Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat
itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh
penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100
tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu
lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur
dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina
Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan
pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam.
Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and Pasai in North
Sumatra were the first Malay Centers for the propagation of the
Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was buried Abdul’llah ibn
Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi
al-Muntasir, a missionary from Delhi of the house of the Abbasides who
furnished Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed by the Turks
in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself.”
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua
kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran
ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan,
sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu,
mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis
menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua
kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan
penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis
sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan
dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan
bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan
meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai
bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India
telah menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637.
Hal ini hanya mungkin apabila bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974:
394).
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke
benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh
para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada
waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak
penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa
Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16
sampai dengan abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis
pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di
sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya.
Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran
bahasa Melayu dan ajaran agama Islam.
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor
telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk
bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap
dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam
bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka
sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah
Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri
khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting
di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara.
Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat
dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa
di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di
kawasan Asia Tenggara.
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad
ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana
Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau
Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini
merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa
Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu
memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal
bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat
mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913,
ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan
kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali
bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika
Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya
yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu
Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul
Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan Mathba’atul
Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet
yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan
Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah
dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris
yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki
Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan
Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada pemerintah
Perancis di Kepulauan Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824,
Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris.
Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur
Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan
Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun 1819.
Orang-orang Blanda datanga pertama kali ke Indonesia
bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia
selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu
direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah
Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche OOst-Indie (India
Belanda).
Di sinilah, Selat Malaka, di daratan
Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya.
Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya
sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang
dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est
India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak benua India, mulai
meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik
kepentingan di antara ketiga kekuasaab kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran
bahasa Melayu, konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena
konfrontasi antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan
Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di
kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Pada 2 Februari 1819, kuran lebih tiga abad
setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika
dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial
Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang
bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan,
Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena
berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun
1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara
Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824)
yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial
Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura
berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan
Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan
Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial
Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu
Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa
ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang
dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang
bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya
Persetujuan London
atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam
kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang
ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857,
misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah
buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh
tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga,
dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji,
misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga
menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang
lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu
Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan
oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat
dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa
Melayu Tinggi.
Perkembangan Bahasa Melayu Sebelum Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani
antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi
Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat
perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat
multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu,
bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya
menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir
semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut
perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
1. Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat
oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi
bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an
bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
2. Tahun 1901 Charles van Ophuijsen
menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de
Spelling der Maleische Taal yang berisi
sistem ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis.
Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf Arab (baiasa diistilahkan
huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van
Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan bahasa Melayu.
3. Tahun 1918 bahasa Melayu mulai
dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan
demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi
bahasa-bahasa daerah lainnya.
4. Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa
Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa
Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua
sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang
kemerdekaan Indonesia.
5. Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa
Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa
persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang
diikrarkannya.
6. Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi
bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pegarang yang menerbitkan berbagai
majalah dan buku.
7. Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia)
di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa
Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.
8. Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara
diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa
pengantar pada semua jenjang pendidikan.
9. Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi
kemerdekaan Indonesia
diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945
memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak
itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
10. Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II
di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
11. Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di
bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis
Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
12. Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan
pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan
di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma
supra-nasional.
13. Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan
pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia
dan Malaysia.
Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Nagara Brunai Darussalam dan Republik
Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
14. Kongres Bahasa Indonesia III dan
seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun
1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara,
bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
15. Kerja sama kebahasaan antara Negara
Kesatuan Republik Indonesia,
Negara Malaysia,
Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini
akan mengantar bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia
Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam
abad ke-21.
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di
Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa
Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial
Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa
Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan
sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa
Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di
atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu
pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara
Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka
dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai,
bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa
resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup
pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat
ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia,
bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap
berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif.
Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di
Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB)
bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai
bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai,
berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Pustaka
Acuan
Abas, Husen. 1987. Indonesian As a
Unifying Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic
Perspectives.Canberra: Research
School of Pasific
Studies, ANU.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language
Policy, Language Engineering and Literacy in Indonesia
and Malaysia”.
Dalam Fiherman, ed. 1974: 179-187.
Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances
in Language Planning. The Hague:
Mouton.
Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau:
Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia. Pekanbaru:
Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan
Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia. Djakarta:
Bhratara.
Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato
Pembukaan KIP BOPA III”. 28 Agustus 1995.
Post a Comment